Sabtu, 17 Maret 2012

Peran Pemasaran dalam Masyarakat


Para pemasar yang bertanggung jawab akan menghayati keinginan pembeli dan memberikan imbalan berupa produk yang tepat, yang mampu menghasilkan kepuasan bagi pembeli dan keuntungan bagi produsen. Konsep pemasaran adalah filsafat tentang layanan dan manfaat timbale-balik. Pada prakteknya, konsep pemasaran mendorong ekonomi, yang dikelolah oleh tangan yang tak terlihat, untuk memuaskan aneka kebutuhan yang berubah-ubah dari berjuta-juta konsumen.
Namun tak semua perusahaan mengikuti teori ini. Ada beberapa pengusaha dan perusahaan yang menggunakan praktek yangng dapat dipertanyakan. Dan beberapa transaksi pribadi, yang kelihatan naïf, menimbulkan implikasi yang mendalam bagi masyarakat luas. Seperti penjualan rokok. Pada dasarnya, perusahaan harus bebas  menjual rokok mereka, dan konsumenpun bebas untuk membeli rokok. Walaupun demikian masyarakat tidak tertarik pada transaksi ini. Pertama, karena rokok dianggap memendekkan usia para perokok. Kedua, karena ini dapat membebankan bagi keluarga perokok dan msyarakat luas. Ketiga, orang lain yang berada disekitar perokkok akan merasa gak enak dan terganggu dengan asap yang nanti akan mereka hirup. Ini bukan berarti bahwa rokok harus dilarang, hanya saja karena kasus ini memperlihatkan bahwa transaksi pribadi dapat menimbulkan masalah dihubungkan dengan kebijakan masyarakat umum.
Pemasaran Terhadap Masyarakat secara Keseluruhan
            Sistem pemasaran di Negara maju seperti Amerika telah dipermasalahkan karena menyebabkan beberapa “keburukan” dalam masyarakat, seperti:
-          Materialisme yang berlebihan
-          Keinginan palsu
-          Barang-barang social yang tak mencukupi
-          Polusi budaya
-          Kekuatan politik yang berlebihan
1)      Materialisme yang Berlebihan
Para kritikus berpendapat bahwa sistem bisnis Amerika mendorong manusia untuk memiliki materi secara berlebihan, tidak sebagaimana adanya. Orang tidak dianggap sukses bila tidak memiliki rumah di kota, mempunyai beberapa mobil, pakaian serta alat rumah tangga yang mutakhir. Padahal sebuah kesuksesan tidak hanya diukur dari segi materi belaka.

2)      Keinginan Palsu
Dalam kondisi social yang normal, orang memandang dan memilih salah satu dari gaya hidup yang saling bertentangan. Masyarakat pada umumnya juga memiliki daya tahan untuk tidak terpengaruh oleh media massa – perhatian yang selektif, persepsi, distorsi (penyimpangan), dan daya ingat. Dalam pengertian yang lebih dalam, keinginan kita dan nilai produk tidak hanya dipengaruhi oleh para pemasar tetapi juga oleh keluarga, kelompok bermain, agama, latar belakang etnik, dan pendidikan. Jika orang-orang sangat materialistik, itu disebabkan oleh sistem nilai mereka. Dan sistem nilai itu disebabkan oleh proses sosialisasi yang mendasar sifatnya yang berakar lebih dalam daripada pengaruh yang disebabkan oleh bisnis dan media massa.

3)      Barang-barang Sosial yang tak mencukupi
Bisnis telah dituduh secara berlebihan merangsang permintaan akan barang-barang pribadi (misalnya mobil) yang mengalahkan barang-barang milik umum (jalan-jalan yang dilalui mobil tersebut). Karena barang-barang pribadi naik, mereka membutuhkan sejumlah pelayanan umum yang memadai yang biasanya tidak terwujud.

4)      Polusi Budaya
Para ekonom berpendapat bahwa sistem pemasaran telah menciptakan polusi budaya. Indera manusia secara terus-menerus diserang oleh iklan. Program-prorgam serius selalu diganggu dengan sisipan iklan, media cetak selalu diselingi dengan halaman iklan, pemandangan indah dicemari dengan reklame. Iklan-iklan yang mengganggu ini selalu menonjolkan seks, kekerasan, atau status yang meracuni pikiran manusia.

5)      Kekuatan Politik yang Berlebihan
Sebuah kritik lain mengatakan bahwa bisnis menyebabkan timbulnya kekuatan politik yang terlalu berlebihan. Ada senator “minyak”, “rokok”, dan “mobil” yang mendukung kepentingan industry tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umum. Bisnis dituduh memiliki terlalu banyak pengaruh atas media massa, yang membatasi kebebasannya untuk menyajikan laporan secara bebas dan obyektif.
Tindakan Masyarakat untuk Mengatur Pemasaran
Karena banyak orang beranggapan bahwa bisnis adalah sebab dari banyak kepincangan ekonomi dan social, gerakan yang mendasar sifatnya sering muncul dari waktu ke waktu, yang bertujuan untuk menertibkan bisnis. Dua gerakan yang penting adalah Lembaga Konsumen dan Wahana lingkungan hidup.
1)      Lembaga Konsumen
Lembaga konsumen adalah sebuah gerakan masyarakat dan pemerintah yang terorganisasi untuk memperjuangkan hak dan kekuatan pembelli dalam hubungannya dengan penjual.
Hak-hak penjual mencakup:
-          Hak untuk menjual segala macam produk dengan segala macam ukuran dan gaya, asal tidak membahayakan bagi kesehatan dan keamanan orang; atau, bila keadaan produk memang membahayakan, penjual boleh menjual asal disertai dengan peringatan dan pengendalian yang semestinya.
-          Hak untuk menetapkan harga produk berapa saja, asalkan tidak ada deskriminasi diantara klas-klas pembeli yang sama.
-          Hak untuk membelanjakan uangnya demi mempromosikan produk, asalkan isi dan pelaksanaannya tidak menyesatkan atau tidak jujur.
-          Hak untuk menggunakan segala macam pesan produk, asalkan isi dan pelaksanaannya tidak menyesatkan atau tidak jujur.
-          Hak untuk mengajukan rencana pemberian insentif pembelian sesuai dengan yang mereka inginkan.
Hak-hak pembeli mencakup:
-          Hak untuk tidak membeli produk yang ditawarkan agar dibeli
-          Hak untuk memperoleh produk dalam keadaan aman
-          Hak untuk memperoleh produk yang sesuai dengan semestinya
-          Hak untuk memperoleh informasi secukupnya tentang aspek-aspek produk yang lebih penting
-          Hak untuk memperoleh perlindungan terhadap produk yang meragukan dan praktek-praktek pemasaran
-          Hak untuk mempengaruhi produk dan praktek pemasaran dalam tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup

2)      Wahana Lingkungan Hidup
Wahana lingkungan hidup adalah gerakan masyarakat dan pemerintah yang terorganisasi untuk melindungi dan meningkatkan lingkungan hidup manusia. Para pendukung wahana lingkungan sangat mengkhawatirkan pengerukan tambang, penggundulan hutan, asap pabrik, papan reklame, dan pencemaran, karena hilangnya kesempatan untuk rekreasi, dan kenaikan jumlah masalah kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran udara dan air serta makanan yang disemprot bahan kimia.
Para pecinta lingkungan tidak menentang pemasaran dan konsumsi; mereka hanya menginginkan perusahaan-perusahaan bekerja sesuai dengan prinsipprinsip ekologi. Mereka tidak sependapat bahwa tujuan sistem pemasaran hanya meningkatkan konsumsi, pilihan konsumen, atau kepuasan konsumen. Tujuan pemasaran harus disesuaikan dengan kualitas hidup. Dan kualitas hidup bukan berarti kualitas dan kuantitas barang dan jasa konsumen melainkan kualitas lingkungan hidup.
Etika Pemasaran
Para pemasar yang sangat berhati-hati pun akan benyak menghadapi dilemma moral. Hal terbaik yang harus dilakukan terkadang sangat tidak jelas. Karena tidak semua pimpinan perusahaan mempunyai kepekaan moral yang baik, maka perusahaan-perusahaan perlu menyususn kebijakan pemasaran perusahaan. Kebijakan-kebijakan itu merupakan pedoman yang bersifat luas dan tegas yang harus dipatuhi oleh setiap orang dalam organisasi itu dan juga harus dilaksanakan tanpa terkecuali. Kebijakan itu mencakup hubungan dengan penyalur, standar iklan, pelayanan konsumen, penetapan harga, pengembangan produk, dan standar etika umum.
Setiap pemasar harus menganut paham filsafat tentang tingkah laku yang baik. Setiap sistem moral didasarkan pada konsepsi hidup baik dan hubungan antara kesejahteraan seseorang dengan kesejahteraan orang lain. Apabila seorang pemasar berpegang teguh pada sebuah filsafat hidup yang jelas, ia akan bias mengatasi persoalan tentang pemasaran atau kegiatan-kegiatan manusia lainnya.
Eksekutif pemasaran tahun 1980an menghadapi banyak tantangan. Mereka akan mempunyai banyak kesempatan pemasaran karena kemajuan teknologi dalam hal enerji matahari, computer dan robot, televise, obat-obat modern, dan berbagai bentuk transportasi dan komunikasi. Dan sekaligus juga sumberdaya di lingkungan sosio-ekonomi akan meningkatkan kendala sehingga pemasaran bisa dimanfaatkan. Perusahaan-perusahaan yang bisa menciptakan nilai-nilai baru dan praktek pemasaran yang bertanggung jawab secara sosial akan mampu mengalahkan dunia.

Kamis, 15 Maret 2012

تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ Kaidah Fiqhiyah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang Masalah
Dewasa ini umat Islam sedang mengalami invasi (serangan) dari segala penjuru. Dari fitnah politik, issu terorisme, sampai serangan yang bersifat intelektual. Semuanya tersusun secara rapi dan sistematis, sehingga umat Islam tidak begitu merasakan adanya serangan ini. Berbagai alasan digunakan untuk menutup-nutupi berbagai aksi semacam ini, dari mulai stabilitas ekonomi, keamanan global, bantuan kemanusiaan, pembelaan kaum lemah dan lain sebagainya.
Dan yang paling berbahaya dan harus diwaspadai oleh umat Islam adalah gerakan pemurtadan besar-besaran melalui pendangkalan akidah dan pengkaburan ajaran-ajaran agama yang semakin hari semakin gencar dihembuskan oleh mereka. Sebab, untuk meloloskan skenario ini mereka dibantu oleh agen-agen mereka yang nota bene adalah putera-puteri Islam, yang dengan sadar atau tidak sadar mereka masuk di dalamnya. Dalam melakukan aksi  ini mereka menggunakan teori vaksinasi (menyuntikkan bibit penyakit yang sama kedalam tubuh). Yaitu untuk mendangkalkan akidah umat Islam mereka menggunakan ajaran-ajaran agama pula.
Dengan alasan reaktualisasi dan reinterpretasi mereka mengaburkan ajaran-ajaran syariat yang sebenarnya sudah jelas dan  tidak perlu diperdebatkan. Ajaran-ajaran yang sudah final,  dikaji kembali oleh mereka yang mengaku sebagai pembaharu Islam, dengan alasan bahwa ajaran tersebut sudah tidak relevan dan tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam yang bertujuan menjaga lima prinsip pokok atau yang lebih dikenal dengan istilah maqhosid al syariyyah (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Karena pada dasarnya, syariat diberlakukan untuk menjaga kemaslahatan umat manusia. Intinya menurut mereka semua syariat yang tidak menjamin kemaslahatan umat manusia harus dirubah.
Untuk itu dalam pembahasan kali ini mencoba menjelaskan sedikit tentang seputar maslahah dan batasan-batasannya. Untuk menambah khazanah keilmuan ditanah air kita dan dijadikan lentera dalam kehidupan sehari-hari.
1.2       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ  islam?
2.      Bagaimana bentuk dan macam-macam Maslahah?
3.      Bagaimana Urgensi Maslahah dalam Ekonomi Islam?
1.3       Tujuan
1.      Untuk dapat mengetahui kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ  dalam islam.
2.      Untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk dan macam-macam Maslahah.
3.      Untuk dapat mengetahui urgensi maslahah dalam Ekonomi Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Kaidah Ke-Lima  تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”
Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.
            Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i:
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.
            Menurut beliau, fatwa beliau adalah berasal dari fatwa Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dari Abu Ahwash dari Abi Ishaq dari Barro’ bin Azib.
اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ وَاِذَاايْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَااسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anakyatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya(menahan diri padanya)”.[1]
Pemimpin merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah perkumpulan ataupun suatu badan. Karena tanpa seorang pemimpin maka suatu perkumpulan tidak akan berjalan dengan baik. Hal ini juga ditegaskan oleh nabi dalam salah satu haditsnya yang intinya bahwa tiap-tiap manusia itu memimpin dirinya sendiri dan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu juga dengan seorang presiden ataupun khalifah menjadi pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya.[2]
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”
Kaidah ini paling tidak bisa diartikan bahwa keputusan seorang pemimpin suatu pemerintahan haruslah selalu berorientasikan kepada kebaikan masyarakat. Karena seorang pemimpin merupakan orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang dipimpinnya.
Salah satu bentuk kekuasaan yang diperoleh oleh seorang penguasa adalah memutuskan suatu perkara atau menentukan sebuah kebijakan. Maka jika kita berpegang kepada kaidah diatas, apa yang akan diputuskan oleh seorang pemimpin atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah memiliki orientasi yang baik, yan membawa kemashlahatan kepada yang dipimpinnya. Kalau presiden, keputusan presiden haruslah membawa kemaslahatan bagi rakyatnya.
Kaidah diatas merupakan kaidah yang ditegaskan oleh imam syafi’i. Imam syafi’i berasumsi bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah kepemerintahan merupakan suatu kedudukan yang sama dengan kedudukan walinya anak yatim.
Hal tersebut berdasarkan hadits mauquf yang disandarkan kepada umar bin khattab RA. Hadits ini dikeluarkan oleh Said bin Mansur dalam kitab susunannya. Said bin mansur mengatakan Abu al-Ahwas bercerita kepadaku, dari Abi Ishaq, dari Barra’ bin Azib, Umar bin Khattab berkata:
 إني أنزلت نفسي من مال الله منزلة ولي اليتيم إن إحتجت أخذت منه    فإذا أيسرت رددته فإن إستغنيت إستعففت[3]
Yang artinya: saya memposisikan diri saya dari harta Allah (kepemimpinan) dalam posisi walinya anak yatim. Apabila saya butuh, maka saya mengambil harta itu.  Namun ketika saya dalam keadaan lapang (mudah) maka saya mengembalikan harta itu. Namun jika saya dalam keadaan cukup, maka saya  akan menjaganya”
Dari perkataan umar di atas dapat difahami bahwa seorang wali dari anak yatim memiliki hak penuh terhadap anak yatim tersebut. Apakah si wali tersebut akan mengambil hartanya lalu dimanfaatkan, jika memang butuh. Atau tidak mengambil apapun jika memang si wali tidak membutuhkannya.
 Begitu juga dengan Umar yang pada waktu itu menjabat sebagai pemimpin rakyat atau umat islam yang memiliki hak penuh terhadap rakyat yang dipimpinnya. Apakah ia akan membawa rakyatnya kepada ke damaian dan kesejahteraan ataukah dibawa kepada kehancuran.
Oleh karena itu seorang pemimpin rakyat memiliki hak penuh terhadap rakyatnya, maka seorang pemimpin memiliki kewajiban membawa rakyatnya kepada kedamaian dan dalam memerintah harus menimbulkan kemaslahatan.
Diantara contoh-contoh tindakan seorang pemimpin yang memberikan kebaikan kepada rakyatnya adalah sebagai berikut: Sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Mawardi bahwa seseorang tidak diperkenankan  mengangkat imam sholat dari orang fasik sekalipun sholat berjamaah kita bersamanya sah, karena hal tersebut bersifat makruh. Karena itu, seorang pemimpin harus menjaga kemashlahatan. Sedangkan membawa rakyat kepada hal-hal yang makruh itu tidak bersifat kemaslahatan.[4] Padahal seorang pemimpin harus membawa atau memberikan kemashlahatan bagi rakyatnya. Maka secara tidak langsung seorang pemimpin harus memutuskan bahwa seorang imam shalat bukanlah orang yang fasik.

2.2       PENGERTIAN MASLAHAH
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan, yaitu:
1.      Imam Ar-Razy mena’rifkan sebagai berikut: “maslahah adalah perbuatan yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan hartanya.”
2.      Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut: “maslahah pada dasarnya adalah meraih manfaat dan menolak madharat”
3.      Muhammad Hasbi As-Siddiqi: “maslahah adalh memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.”

2.3       Bentuk dan Macam-macam Maslahah
Maslahah terdiri atas dua bentuk:
1.      Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang biasa disebut dengan جَلْبُ الْمَنَافِعِ (membawa manfaat). Kebaikan dan kesenangan itu ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan perbuatan yang disuruh itu. Ibarat orang yang sedang haus meminum minuman segar. Ada juga yang dirasakannya kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya tidak dirasakan sebagai suatu kenikmatan tatapi justru ketidakenakan. Seperti orang yang sedang sakit malaria disuruh meminum obat yang rasanya pahit. Segala suruhan Allah barlaku untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti ini.
2.      Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukakn yang disebut درا المفاسد (menolak kerusakan). Kerusakan dan keburukan itu ada yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang waktu berbuat dirasakannya sebagai sesuatu yang menyenangkan tetapi setelah itu dirasakan kerusakan dan keburukannya. Umpamanya berzina dengan pelacur yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit diabetes.[5]

Adapun yang menjadi tolok ukur menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.
Jika ditinjau dari al-Maqhosid As-Syariah maka kemaslahatan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu;
1.      Mashlaha Dlaruriyah, yaitu kemaslahatan yang mendukung tetapnya kehidupan manusia dan tegak dan eksisnya masyarakat. Dengan kata lain kemashlahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Dalam artian kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa atau kehidupann manusia akan rusak jika prinsip yang lima (hifdzu ad-din, hifdzu an-nafs, hifdzu al-aql, hifdzu an-nasal, hifdzu al-mal) itu tidak terpenuhi. Jika lima prinsip tersebut tidak dipenuhi maka kehidupan manusia akan terputus dan peraturan masyarakat tidak akan terwujud.
Dibawah ini akan dijelaskan lima prinsip yang telah disebutkan;
a)      hifdzu ad-din,  untuk mewujudkan kemaslahatan dalam agama Allah memerintahkan manusia untuk memiliki rukun iman yang enam, mengerjakan dasar-dasar ibadah seperti sholat dan puasa.
Selain itu  untuk menjaga kemaslahatan yang berkenaan dengan agama Allah melarang manusia berbuat murtad (keluar dari agama islam). Karena hal itu akan mencederai kemaslahatan manusia yang berbentuk agama, dalam surat al-Taubah: 41
انْفِرُواْ خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٤١﴾
Yang artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

b)      hifdzu an-nafs. Untuk mewujudkan kemashlahatan jiwa, maka Allah memerintahkan manusia untuk menikah secara syar’i dan melarang manusia untuk membunuh karena hal tersebut akan mencederai jiwa manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-an’am: 151
 ...Janganlah kamu melakukan pembunuhan terhadap diri yang diharamkan Allah, kecuali secara hak...”

c)      hifdzu al-aql. Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat sgala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda Nabi:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang yang beriman.”
d)       hifdzu an-nasal. Untuk menjaga keturunan maka Allah memerintahkan manusia menikah secara syari’at dan melarang manusia berbuat zina. karena zina akan merusak keturunan, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Nur:32
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٣٢﴾
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

e)      hifdzu al-mal. Untuk menjaga harta maka Allah melarang manusia mencuri, menghukum orang yang mencuri dan memperbolehkan manusia untuk bertransaksi secara syar’i. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-jumu’ah:10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٠﴾
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

2.      Mashlahah hajiyah. Ialah kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesukaran pada hidup manusia. Jika kemashlahatan ini tidak terpenuhi maka tidak mengancam kepada rusaknya lima prinsip tadi. Namun manusia hanya akan mengalami kesulitan saja.  jika kemashlahatan ini dipenuhi, maka juga akan menunjang kepada adanya prinsip yang lima.
Seperti makan untuk menunjang kehidupan manusia agar kehidupannya tetap terjaga, menjama’ dan meng-qoshor shalat dalam perjalanan untuk mendukung terjaganya agama. Andai kita tidak makan, maka kita tidak akan langsung mati dan tidak akan secara langsung memutus nyawa. Tapi kita hanya akan mendapatkan kesukaran dalam hidup.  Namun juga akan menuju kepada kematian jika kita tidak makan. Terkait dengan menjama’ dan meng-qoshor shalat dalam perjalanan, jika kita tidak melakukan shalat ketika dalam perjalanan dengan cara meng-qoshor dan menjama’, maka agama kita tidak akan tercederai. Akan tetapi kita akan mengalami kesukaran. Namun hal itu juga akan menyebabkan kita akan meninggalkan sholat. Jika kita sudah meninggalkan sholat, maka kemaslahatan dloruriyah kita yang berupa agama akan tercederai.

3.      Mashlahah tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bertujuan memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam bentuk ini juga berkaitan dengan lima prinsip di atas. Namun hanya sebatas memperindah dan menyempurnakannya dan untuk menjunjung tinggi tatakrama. Jadi jika hal kemaslahatan ini tidak diwujudkan, maka tidak mencederai lima prinsip di atas dan tidak pula memberikan kesukaran kepada manusia.  Seperti memakai pakaian untuk menghias diri ketika ke masjid, makan dengan tangan kanan. Jika kita tidak memakai pakaian yang bagus ketika pergi ke masjid dan makan dengan tangan kanan, lima prinsip di atas tidak akan tercederai dan kita tidak akan mengalami kesukaran, hanya saja kita tidak menjunjung tinggi tatakrama. [6]
2.4       MASLAHAT DUNIAWIYAH DAN NASH SYARA’
Para fuqaha dalam menghadapi hubungan maslahat duniawiyah dengan nash-nash syara’ terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:[7]
1.         Golongan pertama, hanya berpegang kepada nash-nash saja dan mengambil dhahirnya tidak melihat kepada sesuatu kemashlahatan yang tersirat di dalam nash itu. Demikianlah pendirian golongan dhahiriyah, golongan yang menolak qiyas, mereka mengatakan: “Tak ada kemaslahatan yang didatangkan syara’.”
2.         Golongan kedua, berusaha mencari maslahat daripada nash untuk mengetahui illat-illat nash, maksud, dan tujuan nash. Golongan ini mengqiyaskan segala yang terdapat padanya maslahat kepada nash yang mengandung maslahat itu. Hanya saja mereka tidak menghargai maslahat terkecuali ada syahid tertentu. Jadi maslahat yang mereka i’tibarkan hanyalah maslahat yang disaksikan oleh sesuatu nash atau oleh sesuatu yang dalil. Dan itulah yang mereka jadikan illat qiyas.
3.         Menetapkan setiap maslahat yang masuk kepada jenis maslahat yang ditetapkan oleh syara’. Maka walaupun tidak disaksikan oleh sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan maslahat mursalah atau istihlah.
2.5       Maslahah dalam Ekonomi Islam
Perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik di panggung internasional mauppun di Indonesia. Lembaga-lembaga itu antara lain  asuransi, sukuk, pegadaian, mortgage, leasing dan multifinance, capital market, mutual fund, factoring, MLM (Multi Level Marketing), dsb.
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan  adalah maslahah. Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah ditempatkan pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip  tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi Islam.
Kemaslahatan dalam bidang muamalah dapat ditemukan oleh akal / pemikiran manusia melalui ijtihad.Misalnya, akal manusia dapat mengetahui bahwa curang dan menipu dalam kegiatan bisnis adalah perilaku tercela. Demikian pula praktik riba. Para filosof Yunani yang hidup di zaman klasik, bisa menemukan dengan pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak bermoral yang harus dihindari.
Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi  yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Jadi , untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahah adalah saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka  di situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di itulah  syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.
Dengan pertimbangan maslahah,   regulasi perekonomian bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash yang mengandung maslahah. Misalnya, Nabi Muhammad Saw tidak mau mencampuri persoalan harga di Madinah, ketika para sahabat mendesaknya untuk menurunkan harga. Tetapi ketika kondisi berubah di mana distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu Taimiyah mengajarkan bahwa pemerintah boleh campur tangan dalam masalah harga. Secara tekstual, Ibnu Taymiyah kelihatannya melanggar nash hadits Nabi Saw. Tetapi karena pertimbangan kemaslahatan, di mana situasi berbeda dengan masa Nabi, maka Ibnu Taymiyah memahami hadits tersebut secara kontekstual berdasarkan pertimbangan maslahah.
Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah juga didasarkan kepada maslahah. Inovasi zakat produktif dan waqaf tunai juga didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan perilaku dalam perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika di sana ada kemudratan dan mafsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar , spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang mengandung riba.   Demikian pula dalam membicarakan perilaku konsumen dalam kaitannya dengan utility. Dalam ekonomi konvensional, tujuan konsumen adalah untuk memaksimalkan utility, sedangkan dalam ekonomi Islam untuk memaksikumkan maslahah. Utility adalah sebuah konsep yang kepuasaan (manfaatnya) bersifat material dan keduniaan belaka, sedangkan maslahah adalah utility yang mengandung unsur-unsur  akhirat, bersifat spiritual dan transendental.[8]


BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”
Penjelasan kesimpulan dari makalah ini adalah menyangkut bidang pemerintahan dan kebijaksanaan dalam hubungannya dengan rakyat, sehingga setiap tindakan/kebijaksanaan yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat harus dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kemaslahatan. Perbuatan penguasa yang hanya mengikuti hawa nafsu serta kesengan sendiri dan tidak membaawa kebaikan pada rakyat adalah tidak dibenarkan.
ditinjau dari al-Maqhosid As-Syariah maka kemaslahatan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Mashlaha Dlaruriyah,
a.       hifdzu ad-din
b.      hifdzu an-nafs
c.       hifdzu al-aql
d.      hifdzu an-nasal
e.       hifdzu al-mal
2. Mashlahah hajiyah
3. Mashlahah tahsiniyah,
Maslahah merupakan konsep terpenting dalam pengembangan ekonomi Islam. Para ulama sepanjang sejarah senantiasa menempatkan maslahah sebagai pinsip utama dalam syariah. Maslahah merupakan tujuan dari syariah Islam. Tujuan syariah biasa dikenal dengan sebutan maqashid syariah.




[1] H. Abdul Mudjib. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. Surabaya: Kalam Mulia, hlm. 61-62
[2] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, hlm:144
[3] ألأشباه والنظا ءىر: hal 83
[4] Ibid: hal 84

[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hal.208
[6] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, hal 379-381
[7] Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, hlm, 335.
[8] http://www.agustiantocentre.com/?p=424