BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini umat Islam sedang mengalami invasi
(serangan) dari segala penjuru. Dari fitnah politik, issu terorisme, sampai
serangan yang bersifat intelektual. Semuanya tersusun secara rapi dan
sistematis, sehingga umat Islam tidak begitu merasakan adanya serangan ini.
Berbagai alasan digunakan untuk menutup-nutupi berbagai aksi semacam ini, dari
mulai stabilitas ekonomi, keamanan global, bantuan kemanusiaan, pembelaan kaum
lemah dan lain sebagainya.
Dan yang paling berbahaya dan harus diwaspadai oleh
umat Islam adalah gerakan pemurtadan besar-besaran melalui pendangkalan akidah
dan pengkaburan ajaran-ajaran agama yang semakin hari semakin gencar
dihembuskan oleh mereka. Sebab, untuk meloloskan skenario ini mereka dibantu
oleh agen-agen mereka yang nota bene adalah putera-puteri Islam, yang dengan
sadar atau tidak sadar mereka masuk di dalamnya. Dalam melakukan aksi ini
mereka menggunakan teori vaksinasi (menyuntikkan bibit penyakit yang
sama kedalam tubuh). Yaitu untuk mendangkalkan akidah umat Islam mereka
menggunakan ajaran-ajaran agama pula.
Dengan alasan reaktualisasi dan reinterpretasi mereka
mengaburkan ajaran-ajaran syariat yang sebenarnya sudah jelas dan tidak
perlu diperdebatkan. Ajaran-ajaran yang sudah final, dikaji kembali oleh
mereka yang mengaku sebagai pembaharu Islam, dengan alasan bahwa ajaran
tersebut sudah tidak relevan dan tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam yang
bertujuan menjaga lima prinsip pokok atau yang lebih dikenal dengan istilah maqhosid
al syariyyah (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Karena pada
dasarnya, syariat diberlakukan untuk menjaga kemaslahatan umat manusia. Intinya
menurut mereka semua syariat yang tidak menjamin kemaslahatan umat manusia
harus dirubah.
Untuk itu dalam pembahasan kali ini mencoba
menjelaskan sedikit tentang seputar maslahah dan batasan-batasannya.
Untuk menambah khazanah keilmuan ditanah air kita dan dijadikan lentera dalam
kehidupan sehari-hari.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kaidah تَصَرُّفُ
الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ islam?
2.
Bagaimana
bentuk dan macam-macam Maslahah?
3. Bagaimana Urgensi Maslahah dalam Ekonomi
Islam?
1.3 Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ dalam islam.
2. Untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk dan macam-macam Maslahah.
3. Untuk dapat mengetahui urgensi maslahah dalam Ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kaidah Ke-Lima تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan imam
terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”
Tindakan dan kebijaksanaan yang
ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum
bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan
pengemban kesengsaraan rakyat.
Kaidah
ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i:
مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ
الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan imam
terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.
Menurut
beliau, fatwa beliau adalah berasal dari fatwa Umar bin Khattab yang
diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur dari Abu Ahwash dari Abi Ishaq dari Barro’
bin Azib.
اِنِّىِ اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ
مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلِىِّ الْيَتِيْمِ اِنِاحْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ
وَاِذَاايْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَااسْتَغْنَيْتُ اِسْتَعْفَفْتُ
“Sungguh aku
menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap
anakyatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan apabila ada
sisa aku kembalikan. Dan apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya(menahan
diri padanya)”.
Pemimpin merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah perkumpulan
ataupun suatu badan. Karena tanpa seorang pemimpin maka suatu perkumpulan tidak
akan berjalan dengan baik. Hal ini juga ditegaskan oleh nabi dalam salah satu
haditsnya yang intinya bahwa tiap-tiap manusia itu memimpin dirinya sendiri dan
dimintai pertanggung jawabannya. Begitu juga dengan seorang presiden ataupun
khalifah menjadi pemimpin bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban
dari apa yang dipimpinnya.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”
Kaidah ini paling tidak bisa diartikan
bahwa keputusan seorang pemimpin suatu pemerintahan haruslah selalu
berorientasikan kepada kebaikan masyarakat. Karena seorang pemimpin merupakan
orang yang memiliki kekuasaan terhadap yang dipimpinnya.
Salah satu bentuk kekuasaan yang diperoleh
oleh seorang penguasa adalah memutuskan suatu perkara atau menentukan sebuah
kebijakan. Maka jika kita berpegang kepada kaidah diatas, apa yang akan
diputuskan oleh seorang pemimpin atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah
memiliki orientasi yang baik, yan membawa kemashlahatan kepada yang
dipimpinnya. Kalau presiden, keputusan presiden haruslah membawa kemaslahatan
bagi rakyatnya.
Kaidah diatas merupakan kaidah yang
ditegaskan oleh imam syafi’i.
Imam syafi’i berasumsi bahwa kedudukan seorang pemimpin dalam sebuah
kepemerintahan merupakan suatu kedudukan yang sama dengan kedudukan walinya
anak yatim.
Hal tersebut berdasarkan hadits mauquf yang disandarkan kepada umar
bin khattab RA. Hadits ini dikeluarkan oleh Said bin Mansur dalam kitab susunannya.
Said bin mansur mengatakan Abu al-Ahwas bercerita kepadaku, dari Abi Ishaq,
dari Barra’ bin Azib, Umar bin Khattab berkata:
إني أنزلت نفسي من مال الله
منزلة ولي اليتيم إن إحتجت أخذت منه
فإذا أيسرت رددته فإن إستغنيت إستعففت
Yang artinya: “saya memposisikan diri saya dari harta Allah (kepemimpinan) dalam posisi
walinya anak yatim. Apabila saya
butuh, maka saya mengambil harta itu.
Namun ketika saya dalam keadaan lapang (mudah) maka saya mengembalikan
harta itu. Namun jika saya dalam keadaan cukup, maka saya akan menjaganya”
Dari perkataan umar di atas dapat difahami bahwa seorang wali dari
anak yatim memiliki hak penuh terhadap anak yatim tersebut. Apakah si wali
tersebut akan mengambil hartanya lalu dimanfaatkan, jika memang butuh. Atau
tidak mengambil apapun jika memang si wali tidak membutuhkannya.
Begitu juga dengan Umar yang
pada waktu itu menjabat sebagai pemimpin rakyat atau umat islam yang memiliki
hak penuh terhadap rakyat yang dipimpinnya. Apakah ia akan membawa rakyatnya
kepada ke damaian dan kesejahteraan ataukah dibawa kepada kehancuran.
Oleh karena itu seorang pemimpin rakyat memiliki hak penuh terhadap
rakyatnya, maka seorang pemimpin memiliki kewajiban membawa rakyatnya kepada
kedamaian dan dalam memerintah harus menimbulkan kemaslahatan.
Diantara contoh-contoh tindakan seorang pemimpin yang memberikan
kebaikan kepada rakyatnya adalah sebagai berikut: Sebagaimana diungkapkan oleh
Imam al-Mawardi bahwa seseorang tidak diperkenankan mengangkat imam sholat dari orang fasik
sekalipun sholat berjamaah kita bersamanya sah, karena hal tersebut bersifat
makruh. Karena itu, seorang pemimpin harus menjaga kemashlahatan. Sedangkan
membawa rakyat kepada hal-hal yang makruh itu tidak bersifat kemaslahatan. Padahal
seorang pemimpin harus membawa atau memberikan kemashlahatan bagi rakyatnya. Maka
secara tidak langsung seorang pemimpin harus memutuskan bahwa seorang imam shalat
bukanlah orang yang fasik.
2.2 PENGERTIAN MASLAHAH
Menurut istilah
ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan, yaitu:
1.
Imam Ar-Razy mena’rifkan sebagai berikut: “maslahah adalah
perbuatan yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya
tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan hartanya.”
2.
Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut: “maslahah pada
dasarnya adalah meraih manfaat dan menolak madharat”
3.
Muhammad Hasbi As-Siddiqi: “maslahah adalh memelihara tujuan syara’
dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.”
2.3 Bentuk dan
Macam-macam Maslahah
Maslahah terdiri atas dua bentuk:
1.
Mewujudkan
manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang biasa disebut dengan جَلْبُ الْمَنَافِعِ (membawa manfaat). Kebaikan dan kesenangan
itu ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan perbuatan yang disuruh itu.
Ibarat orang yang sedang haus meminum minuman segar. Ada juga yang dirasakannya
kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya tidak dirasakan sebagai
suatu kenikmatan tatapi justru ketidakenakan. Seperti orang yang sedang sakit
malaria disuruh meminum obat yang rasanya pahit. Segala suruhan Allah barlaku
untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti ini.
2.
Menghindari
umat manusia dari kerusakan dan keburukakn yang disebut درا المفاسد (menolak kerusakan). Kerusakan dan keburukan
itu ada yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang,
ada juga yang waktu berbuat dirasakannya sebagai sesuatu yang menyenangkan
tetapi setelah itu dirasakan kerusakan dan keburukannya. Umpamanya berzina
dengan pelacur yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang
berpenyakit diabetes.
Adapun
yang menjadi tolok ukur menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadatnya)
sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah
apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.
Jika
ditinjau dari al-Maqhosid As-Syariah maka kemaslahatan terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu;
1.
Mashlaha
Dlaruriyah, yaitu kemaslahatan
yang mendukung tetapnya kehidupan manusia dan tegak dan eksisnya masyarakat.
Dengan kata lain kemashlahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
kehidupan manusia. Dalam artian kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa atau
kehidupann manusia akan rusak jika prinsip yang lima (hifdzu ad-din, hifdzu
an-nafs, hifdzu al-aql, hifdzu an-nasal, hifdzu al-mal) itu tidak
terpenuhi. Jika lima prinsip tersebut tidak dipenuhi maka kehidupan manusia
akan terputus dan peraturan masyarakat tidak akan terwujud.
Dibawah ini akan dijelaskan lima prinsip yang telah disebutkan;
a)
hifdzu
ad-din, untuk mewujudkan kemaslahatan dalam agama
Allah memerintahkan manusia untuk memiliki rukun iman yang enam, mengerjakan
dasar-dasar ibadah seperti sholat dan puasa.
Selain itu untuk menjaga kemaslahatan yang berkenaan
dengan agama Allah melarang manusia berbuat murtad (keluar dari agama islam).
Karena hal itu akan mencederai kemaslahatan manusia yang berbentuk agama, dalam
surat al-Taubah: 41
انْفِرُواْ
خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ
اللّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٤١﴾
Yang
artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa
berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian
itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
b)
hifdzu
an-nafs. Untuk
mewujudkan kemashlahatan jiwa, maka Allah memerintahkan manusia untuk menikah
secara syar’i dan melarang manusia untuk membunuh karena hal tersebut akan mencederai
jiwa manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-an’am: 151
”...Janganlah kamu melakukan pembunuhan
terhadap diri yang diharamkan Allah, kecuali secara hak...”
c)
hifdzu
al-aql. Untuk
memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat
sgala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan
cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang disuruh
Allah. Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak
memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda Nabi:
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang
yang beriman.”
d)
hifdzu
an-nasal. Untuk menjaga keturunan maka Allah memerintahkan manusia menikah
secara syari’at dan melarang manusia berbuat zina. karena zina akan merusak
keturunan, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Nur:32
وَأَنكِحُوا
الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن
يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٣٢﴾
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
e)
hifdzu
al-mal. Untuk menjaga
harta maka Allah melarang manusia mencuri, menghukum orang yang mencuri dan
memperbolehkan manusia untuk bertransaksi secara syar’i. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-jumu’ah:10
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٠﴾
“Apabila telah
ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
2.
Mashlahah
hajiyah. Ialah
kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesukaran pada
hidup manusia. Jika kemashlahatan ini tidak terpenuhi maka tidak mengancam
kepada rusaknya lima prinsip tadi. Namun manusia hanya akan mengalami kesulitan
saja. jika kemashlahatan ini dipenuhi,
maka juga akan menunjang kepada adanya prinsip yang lima.
Seperti makan untuk menunjang kehidupan manusia agar kehidupannya
tetap terjaga, menjama’ dan meng-qoshor shalat dalam perjalanan untuk mendukung
terjaganya agama. Andai kita tidak makan, maka kita tidak akan langsung mati
dan tidak akan secara langsung memutus nyawa. Tapi kita hanya akan mendapatkan
kesukaran dalam hidup. Namun juga akan
menuju kepada kematian jika kita tidak makan. Terkait dengan menjama’ dan meng-qoshor
shalat dalam perjalanan, jika kita tidak melakukan shalat ketika dalam
perjalanan dengan cara meng-qoshor dan menjama’, maka agama kita tidak akan
tercederai. Akan tetapi kita akan mengalami kesukaran. Namun hal itu juga akan
menyebabkan kita akan meninggalkan sholat. Jika kita sudah meninggalkan sholat,
maka kemaslahatan dloruriyah kita yang berupa agama akan tercederai.
3.
Mashlahah
tahsiniyah, yaitu
kemaslahatan yang bertujuan memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup
manusia. Mashlahah dalam bentuk ini juga berkaitan dengan lima prinsip di atas.
Namun hanya sebatas memperindah dan menyempurnakannya dan untuk menjunjung
tinggi tatakrama. Jadi jika hal kemaslahatan ini tidak diwujudkan, maka tidak
mencederai lima prinsip di atas dan tidak pula memberikan kesukaran kepada
manusia. Seperti memakai pakaian untuk
menghias diri ketika ke masjid, makan dengan tangan kanan. Jika kita tidak
memakai pakaian yang bagus ketika pergi ke masjid dan makan dengan tangan
kanan, lima prinsip di atas tidak akan tercederai dan kita tidak akan mengalami
kesukaran, hanya saja kita tidak menjunjung tinggi tatakrama.
2.4 MASLAHAT DUNIAWIYAH DAN NASH SYARA’
Para fuqaha dalam menghadapi hubungan
maslahat duniawiyah dengan nash-nash syara’ terbagi menjadi tiga golongan,
yaitu:
1. Golongan pertama, hanya berpegang kepada
nash-nash saja dan mengambil dhahirnya tidak melihat kepada sesuatu
kemashlahatan yang tersirat di dalam nash itu. Demikianlah pendirian golongan
dhahiriyah, golongan yang menolak qiyas, mereka mengatakan: “Tak ada
kemaslahatan yang didatangkan syara’.”
2. Golongan kedua, berusaha mencari maslahat
daripada nash untuk mengetahui illat-illat nash, maksud, dan tujuan nash.
Golongan ini mengqiyaskan segala yang terdapat padanya maslahat kepada nash
yang mengandung maslahat itu. Hanya saja mereka tidak menghargai maslahat
terkecuali ada syahid tertentu. Jadi maslahat yang mereka i’tibarkan hanyalah
maslahat yang disaksikan oleh sesuatu nash atau oleh sesuatu yang dalil. Dan
itulah yang mereka jadikan illat qiyas.
3. Menetapkan setiap maslahat yang masuk kepada
jenis maslahat yang ditetapkan oleh syara’. Maka walaupun tidak disaksikan oleh
sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu
dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan maslahat mursalah atau istihlah.
2.5 Maslahah dalam Ekonomi Islam
Perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan
syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik di panggung internasional
mauppun di Indonesia. Lembaga-lembaga itu antara lain asuransi, sukuk,
pegadaian, mortgage, leasing dan multifinance, capital market, mutual fund,
factoring, MLM (Multi Level Marketing), dsb.
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam
dan perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan adalah maslahah.
Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep
yang paling penting dalam syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah
ditempatkan pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip tawhid.
Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu
sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah
mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi
dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan
demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai
prinsip kedua dalam ekonomi Islam.
Kemaslahatan dalam bidang muamalah dapat ditemukan
oleh akal / pemikiran manusia melalui ijtihad.Misalnya, akal manusia dapat
mengetahui bahwa curang dan menipu dalam kegiatan bisnis adalah perilaku
tercela. Demikian pula praktik riba. Para filosof Yunani yang hidup di zaman
klasik, bisa menemukan dengan pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak
bermoral yang harus dihindari.
Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam
ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah
iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin
diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan
syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik,
dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan
muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit
motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi
konvensional.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam dalam
menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi yang pesat haruslah
didasarkan kepada maslahah. Jadi , untuk mengembangkan ekonomi Islam,
para ekonom muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahah
adalah saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah,
maka di situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala sesuatu yang
mengandung kemaslahatan, maka di itulah syari’ah Allah. Dengan demikian
maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.
Dengan pertimbangan maslahah, regulasi
perekonomian bisa berubah dari teks nash kepada konteks nash yang mengandung
maslahah. Misalnya, Nabi Muhammad Saw tidak mau mencampuri persoalan harga di
Madinah, ketika para sahabat mendesaknya untuk menurunkan harga. Tetapi ketika
kondisi berubah di mana distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu Taimiyah
mengajarkan bahwa pemerintah boleh campur tangan dalam masalah harga. Secara
tekstual, Ibnu Taymiyah kelihatannya melanggar nash hadits Nabi Saw. Tetapi
karena pertimbangan kemaslahatan, di mana situasi berbeda dengan masa Nabi,
maka Ibnu Taymiyah memahami hadits tersebut secara kontekstual berdasarkan
pertimbangan maslahah.
Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan
syari’ah juga didasarkan kepada maslahah. Inovasi zakat produktif dan waqaf
tunai juga didasarkan kepada maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan perilaku
dalam perekonomian acuannya adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan,
maka hal itu dibenarkan dan dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika di sana
ada kemudratan dan mafsadah, maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar
, spekulasi valas dan saham, gharar, judi, dumping,
dan segala bisnis yang mengandung riba. Demikian pula dalam
membicarakan perilaku konsumen dalam kaitannya dengan utility. Dalam ekonomi
konvensional, tujuan konsumen adalah untuk memaksimalkan utility, sedangkan
dalam ekonomi Islam untuk memaksikumkan maslahah. Utility adalah sebuah konsep
yang kepuasaan (manfaatnya) bersifat material dan keduniaan belaka, sedangkan
maslahah adalah utility yang mengandung unsur-unsur akhirat, bersifat
spiritual dan transendental.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kaidah تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan imam
terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”
Penjelasan kesimpulan dari makalah ini adalah menyangkut bidang
pemerintahan dan kebijaksanaan dalam hubungannya dengan rakyat, sehingga setiap
tindakan/kebijaksanaan yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat harus
dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan
suatu kemaslahatan. Perbuatan penguasa yang hanya mengikuti hawa nafsu serta
kesengan sendiri dan tidak membaawa kebaikan pada rakyat adalah tidak
dibenarkan.
ditinjau
dari al-Maqhosid As-Syariah maka kemaslahatan terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1.
Mashlaha Dlaruriyah,
a.
hifdzu
ad-din
b.
hifdzu
an-nafs
c.
hifdzu
al-aql
d.
hifdzu
an-nasal
e.
hifdzu
al-mal
2.
Mashlahah hajiyah
3.
Mashlahah tahsiniyah,
Maslahah merupakan konsep terpenting dalam pengembangan ekonomi
Islam. Para ulama sepanjang sejarah senantiasa menempatkan maslahah sebagai
pinsip utama dalam syariah. Maslahah merupakan tujuan dari syariah Islam.
Tujuan syariah biasa dikenal dengan sebutan maqashid syariah.