Rabu, 14 Maret 2012

Istihsan


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya : al-Ushul al-Mukhtalaf fiha), atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan).[1]
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah al-Istihsan,  pandangan para ulama tentangnya,serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Untuk pembahasan selengkapnya akan diuraikan pada bab selanjutnya.
1.2. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan istihsan?
2.      Bagaimana keHujjahan istihsan?
3.      Bagaimana kontradiksi istihsan dalam pandangan ulama’?


1.3. Tujuan Penulisan
1.      Untuk dapat mengetahui pengertian istihsan.
2.      Untuk dapat mengetahui bagaimana kehujjahan istihsan.
3.      Untuk dapat mengetahui kontradiksi istihsan dalam pandangan ulama’.


BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengertian Istihsan
Istihsan secara harfiyah adalah meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.[2] Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh berpendapat, istihsan ialah berpindahnya seseorang mujtahid dari mhukum yang diketahui oleh qiyas jali (terang) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafi (samar-samar), atau dari hukum kulli (meliputi) kepada hukum yang bersifat pengecualian, karena dalil yang zahir padahalnya menguatkan perpindahan itu.[3] Imam Abu Hasan al-Karkhi mengungkapkan definisi bahwa istihsan adalah “penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu”.[4]
Adapun dasar pertimbangan ulama dalam menetapkan hukum dengan istihsan adalah terwujudnya tujuan hukum yang hendak dicapai untuk kepentingan umat. Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan suatu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua daripada hukum yang pertama.Istihsan ada dua macam definisi, yaitu:
1.      Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu, biasa disebut istihsan Qiyasi.
2.      Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang belaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut, biasa disebut Istihsan Istisnaiy [5].

2.2. Kehujjahan Istihsan
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui bahwa pada dasarnya istihsan bukanlah merupakan sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Sebab, dari bentuk yang pertama, adalah mengunggulkan qiyas yang samar daripada qiyas yang nyata. Karena hal itu dapat menentramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Dan bentuk yang ke-dua adalah kemashlahatan, yang menuntut adanya perkecualian dari hukum umum (kully) dan hal itu juga dianggap sebagai alasan istihsan.[6]
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan qiyas samar yang mengalahkan qiyas nyata, atau memenangkan qiyas yang satu terhadap qiyas lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar.[7]



BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kontradiksi Istihsan dalam Pandangan Ulama’
a. Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa imam Abu Hanifah banyak sekali menggunakan Istihsan dan mengakuinya. Menurut golongan Hanafiyah, istihsan itu bisa dijadikan dalil syara’. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh qiyas atau nas umum.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan Hanafiyah mengemukakan alasan atau dalil dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ yang akan dipaparkan sebagai berikut
a)    Al-Qur’an, surat al-Zumar (39) ayat 18 dan 55
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ ﴿١٨﴾
     “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ العَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٥٥﴾
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.”[8]

b)    Sunnah
ما راّه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik di sisi Allah (HR Ahmad dalam kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya).”
     Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik disisi Allah. Dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.[9]

c)    Ijma’
            Ijma’ yang mereka jadikan alasan adalah ijma’ ulama terhadap masalah pemakaian kamar mandi umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang digunakan.[10]

b.Ulama Malikiyah
Asy-Syathibi berkata bahwa Imam Maliki berpendapat bahwa istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Hanafi di atas.[11] Menurut ulama Malikiyah, Imam Malik menganggap baik mentakhshishkan dalil umum dengan maslahat dan mereka menjelaskan bahwa istihsan adalah mengutamakan maslahat atas kias. Artinya bahwa maslahat yang diutamakan atas kias dan dalil umum adalah maslahat yang sesuai dengan kehendak syara’ (mashlahat mula’imat); tidak menghilangkan salah satu dasar dari dasar-dasar syara’.[12]
c.Ulama Hanabilah
Imam al-Amudi dan Ibn Hazib berkata, bahwa golongan hanabilah mengakui adanya istihsan. Akan tetapi, al-Jalal al-Mahalli dalam kitab Syarh al-Jam’ al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.[13]
d.Ulama Syafiiyah
Secara masyhur golongan Syafi’iyah tidak mengakui adanya istihsan, bahkan al-Syafi’i sangat keras menentang istihsan. Karena istihsan menurutnya, berarti mencari enaknya saja dan menetapkan hukum secara sembarangan tanpa nas atau tanpa dasar yang bisa dipertanggungkan kepada nas. Sebagaimana yang dikatakan imam Syafi’i “barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at”.
Imam Syafi’i membatalkan dalil Istihsan. Dalam kitabnya ar-Risalah dan al-Umm, beliau mengemukakan alasan-alasan pembatalan tersebut dalam satu pasal tersendiri dengan judul “Ibthalul Istihsan” (pembatalan dalil istihsan) dan telah diringkas ke dalam enam hal sebagai berikut:[14]
1.    Syari’ah adalah nash dan kandungan nash (acuan kepada nash). Sedangkan istihsan ternyata bukan merupakan qiyas atau penerapan nash, karena Allah SWT tidak mungkin meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Qiyaamah:36
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى ﴿٣٦﴾
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
2.    Banyak ayat-ayat al-qur’an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasulnya, melarang mengikuti hawa nafsu, dan memerontahkan kepada kita agar kembali kepada kitabullah ketika terjadi pertentangan. Seperti firman Allah dalam QS.al-Nisa’:59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
     Sementara istihsan tidak termasuk dan tidak pula merujuk pada al-Qur’an dan sunnah, sehingga tidak bisa diterima sebagai sumber hukum .
3.    Nabi Muhammad SAW tidak pernah memberi fatwa dengan menggunakan istihsan dan tidak pula berpendapat berdasarkan hawa nafsunya. Oleh karena itu, kita wajib menghindarkan diri menggunakan istihsan tanpa adanya dalil nash. Andaikata ada seseorang yang berfatwa dengan kedalaman perasaan fiqh atau istihsan, maka pasti Nabi Muhammad SAW (sayyidul mursalin) lah yang pertama melakukannya karena beliau sebagai panutan yang baik (uswatun hasanah) bagi kita.
4.    Nabi Muhammad SAW tidak berkenan terhadap para sahabat yang pergi ke daerah lain dan memberi fatwa dengan istihsan.
5.    Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas, tidak pula memiliki kriteria-kriteria yang bisa dijadikan standar untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, seperti halnya qiyas. Sehingga persoalan akan membias, karena dalam satu masalah baru yang muncul akan mendapat jawaban beragam sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan masing-masing mufti dalam menangkap dan menerapkan dalil istihsan.
6.    Seandainya istihsan boleh dipakai oleh seorang mujtahid, sementara ia tidak berpegang pada nash atau mengacu pada nash, akan tetapi berpegang  pada kemampuan akal semata, niscaya istihsan boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah. [15]


BAB IV
STUDI KASUS

4.1  Studi Kasus Masalah Istihsan
a. Contoh Istihsan Qiyasi
            Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali, hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.[16]

b. Contoh Istihsan Istisnaiy :
1.      Istihsan bin-nash : hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad  terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:
“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salam, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari  no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2.      Istihsan berlandaskan Ijma’ : Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidak-jelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[17]
3.      Istihsan yang berlandaskan ‘Urf : Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:
“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam masjid.
Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf  yang berupa perbuatan adalah seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat setempat. Padahal wakaf biasanya hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.
4.      Istihsan yang didasarkan atas Mashlahah Mursalah : seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa berhati-hati dan lebih bertanggung jawab. Padahal menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.[18]


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Secara istilah, mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan qiyasi dan istihsan istisnaiy. Istihsan istisnaiy memiliki beberapa bentuk, yaitu : istihsan bin-nash, istihsan dengan ijma’, istihsan berdasarkan ‘urf, serta istihsan berdasarkan mashlahah mursalah.
Beberapa ulama’ berbeda pendapat terhadap penggunaan istihsan sebagai hujjah, diantaranya Imam Syafi’i, yang menolak menggunakan istihsan. Sedangkan Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali menerima istihsan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
3.2 Saran
Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.



[1] http://abulmiqdad.multiply.com/journal/item/7
[2] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA. Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung. Hal. 111
[3] Dr.H.Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, Rajawali Pers, Padang, 2003, Hal.234
[4] Prof. Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqih. Pustaka Firdaus. Jakarta. Hal. 401
[5] Prof.Dr.H. Satria Effendi,M.Zein,M.A, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2009, Hal.143
[6] Abdul Wahab Khalaf. 2003, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Amani. Cet.I. Hlm. 107-108.
[7] Ibid. Hlm.108
[8] Prof.Dr.H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, Hlm.317
[9] Prof.Dr.H. Satria Effendi,M.Zein,M.A, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2009, 146
[10] Ibid. 318
[11] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA. Op.cit. Hal.112
[12] DR. Iskandar Usman. Istihsan dan Pembaharuan hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 41.
[13] Prof. DR. Rahmat Syafi’ie, MA. Op.cit. Hal 112.
[14] Prof. Muhammad Abu Zahrah. Op.cit. Hal.412.
[15] Ibid, Hlm.412
[16] Satria Efendi dan M. Zein, Tanpa Tahun, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group. Hlm. 143
[17] http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati.
[18] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar